oleh: Merza Gamal (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

Sebagai pedoman hidup orang Islam, Al Qur’an secara tegas telah memerintahkan pelaksanaan zakat. Menurut catatan Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy dalam bukunya Pedoman Zakat, terdapat 30 kali penyebutan kata zakat secara ma’rifah di dalam Al Quran. Bahkan kewajiban zakat seringkali beriringan dengan perintah sholat, seperti misalnya:
“Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.” (QS Al-Baqarah [2]: 43)
Penjelasan kewajiban zakat bergandengan dengan perintah sholat, terdapat pada 28 ayat Al Quran.
Dengan demikian, menurut sebagian ulama besar, jika sholat adalah tiang agama, maka zakat adalah mercusuar agama.
Atau dengan kata lain sholat merupakan ibadah jasmaniah yang paling mulia, sedangkan zakat dipandang sebagai ibadah hubungan kemasyarakatan yang paling mulia.
Beberapa pandangan ulama besar menyatakan, bergandengannya kewajiban zakat dan perintah sholat dalam Al Quran menyiratkan bahwa semestinya Allah tidak akan menerima salah satu, dari sholat atau zakat, tanpa kehadiran yang lain.
Pada dasarnya kepentingan ibadah sholat tidak dimaksudkan untuk mengurangi arti penting zakat. Hal tersebut terjadi karena sholat merupakan wakil dari jalur hubungan dengan Allah, sedangkan zakat adalah wakil dari jalan hubungan dengan sesama manusia.
Walaupun demikian, bukan berarti kewajiban zakat lepas dari dimensi ke-Tuhan-an. Sesuai dengan Surah Fushshilat ayat 6-7 yang menyatakan,
seorang mukmin yang tidak mngeluarkan zakat tidak ada bedanya dengan orang musyrik.
Menurut, Yusuf Al-Qardhawi,
zakat dapat berfungsi sebagai pembeda antara keislaman dan kekafiran, antara keimanan dan kemunafikan, serta antara ketaqwaan dan kedurhakaan.
Di dalam Al Quran zakat mempunyai beberapa istilah, yakni : zakat, shadaqah, haq, nafaqah, dan afuw. Akan tetapi yang berkembang pada masyarakat, istilah “zakat” digunakan untuk shadaqah wajib, sementara kata “sedekah” digunakan untuk shadaqah sunah.
Harta yang dikeluarkan untuk zakat dimaksudkan untuk mensucikan diri dari kotoran kikir dan dosa, serta untuk menyuburkan harta atau memperbanyak pahala bagi mereka yang mengeluarkannya. Karena zakat itu menunjukkan kebenaran iman.
Harta yang dizakatkan akan dipelihara oleh Allah SWT, dan dapat diturunkan kepada anak cucu dengan memperoleh keberkahan dan kesucian serta perlindungan dari Allah yang Maha Kuasa. Sementara harta yang tidak dikeluarkan zakat, tidak akan mendapat perlindungan dari Allah, sebab harta itu akan lenyap dari kepemilikan melalui bencana yang beraneka ragam. Harta tidak akan terpakai untuk pekerjaan yang memberikan keuntungan bagi pemiliknya di “akhirat” kelak.
Zakat merupakan manifestasi dari kegotongroyongan antara orang kaya dengan fakir miskin. Pemberdayaan zakat merupakan perlindungan bagi masyarakat dari bencana kemasyarakatan, yaitu kemiskinan, kelemahan baik dari segi fisik maupun mental. Lembaga “zakat” merupakan sarana distribusi kekayaan di dalam ajaran Islam yang merupakan kewajiban kolektif perekonomian umat Islam.
Zakat merupakan komitmen seorang Muslim dalam bidang sosial-ekonomi yang tidak terhindarkan untuk memenuhi kebutuhan pokok bagi semua orang, tanpa harus meletakkan beban pada kas negara semata, sebagaimana yang dilaksanakan dalam sistem sosialisme dan negara kesejahteraan modern.
Pembahasan Al Qur’an tentang zakat sebagai doktrin sosial-ekonomi Islam sering dikaitkan secara bersamaan dengan “riba”. Seperti yang terdapat dalam Surah al-Baqarah ayat 275, yang menyatakan bahwa
“Allah menghalakan jual beli dan mengaharamkan riba, setelah pada ayat sebelumnya menyatakan keutamaan membelanjakan harta di jalan yang benar.”
Kemudian pada ayat berikutnya, yakni Surah Al-Baqarah ayat 276 dengan tegas Allah menyatakan bahwa:
“Allah menghapuskan (berkah) riba dan menyuburkan (berkah) sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran lagi berbuat dosa.”
Dalam ayat tersebut Al Quran dengan jelas mempertentangkan riba dan shadaqah, dan kemudian dalam ayat berikutnya secara lebih tegas muncul konsep zakat sebagai solusi alternatif, yakni:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal soleh, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka, dan tidak ada ketakutan yang akan menimpa mereka, dan mereka tidak akan berduka cita.” QS. Al-Baqarah [2]: 277)
Faktor yang menghubungkan antara “zakat” dengan “riba” adalah pengertian kunci di sekitar berkah dalam konotasi kontradiktif. “Zakat” sangat terkait dengan sistem penyediaan dana dan sistem pemanfaatan dana dalam rangka melaksanakan kebijaksanaan pemerataan untuk mencapai keadilan sosial. Sementara itu “riba” hanya dilandasi prinsip materialisme dan hedonisme sehingga menjadi salah satu faktor utama timbulnya konsentrasi kekayaan pada satu orang atau kelompok.
Sesuai dengan prinsip Syariah Islam yang tidak mempersulit (adam al-haraj) dan keadilan (al-‘adalah) yang mencakup keadilan sosial, maka doktrin zakat harus dipahami sebagai satu kesatuan system yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka tercapainya pemerataan keadilan (distribution of justice). Seperti yang diungkapkan Al Quran, Surah Al Hasyr ayat 7, yakni agar harta tidak beredar di kalangan orang-orang kaya saja.