oleh: Lita Edia (Direktur Sekolah RA & SDIT Amal Mulia)

Suatu hari saya berbincang dengan sekelompok ibu. Dari pengamatan yang saya lakukan, saya berpikir bahwa ternyata umum terjadi jika seorang Ibu memiliki target yang tinggi. Baik itu untuk dirinya, pasangan, maupun anak-anaknya.
Memiliki target tinggi tentu dapat menjadi hal yang baik. Akan tetapi target tersebut dapat menimbulkan permasalahan ketika tidak sesuai dengan realita yang ada. Alih-alih menjadi motivasi, yang terjadi malah frustasi dan kemudian menghukum diri.
Saya pernah berada di posisi yang sama.
Sebelumnya kata ‘harus‘ dan ‘harusnya‘ seakan melekat dalam diri, namun sekarang saya sudah mengibarkan bendera putih untuk kedua kata tersebut. Saat saya diberondong pertanyaan untuk mendetailkan hal tersebut oleh seorang coach, saya tersadarkan bahwa apa yang ada di benak tentang ‘harus‘ dan ‘harusnya‘ itu hanyalah angan-angan belaka.
Kapan kamu akan mencapai itu?
Ok, jika kamu mau mencapai itu bulan..., apa yang akan kamu lakukan hari ini, seminggu kedepan, bulan depan....?
Pertanyaannya sebenarnya biasa. 4 W + 1 H, tapi ternyata saya banyak terbata saat menjawabnya.
"Tapi Pak, bukankah seorang istri dan ibu itu harusnya...., bukankah seorang suami itu harusnya..."
Pertanyaan ini direspon dengan pernyataan yang jleb sekali untuk saya.
"Tidak ada harusnya dalam pernikahan, yang ada adalah apa yang efektif"
Saya menarik nafas dalam-dalam ketika itu. Menghayati sekali bahwa, iya ya, saya menjalankan pernikahan dengan skema orang lain. Yang mana hal tersebut bisa jadi tidak sesuai dengan kondisi keluarga yang ada.
Kondisi ibu yang bekerja penuh waktu dengan lima anak dan tanpa asisten rumah tangga (ART), tentu tidak bisa disamakan dengan kondisi keluarga lain. Belum lagi jika dikaitkan dengan variabel lainnya.
Membaca sebagai referensi
Saya pernah sampai bolak-balik membaca artikel yang menurut saya isinya sangat ideal. Saya memastikan tidak salah membaca, hanya karena saya merasa sangat jauh dengan tulisan tersebut. Ya, kehidupan keluarga saat ini sangat dinamis. Begitu banyak ragam kisah di dalamnya. Rasanya akan sulit jika suatu kondisi diharuskan sama persis satu sama lain.
Tidak apa-apa belajar tentang bagaimana keluarga ideal sebagai referensi. Tetapi dalam penerapannya, perlu disesuaikan dengan kondisi yang ada.
Hal utama yang perlu dilakukan tetapi malah kerap kali luput, adalah membicarakannya dengan pasangan. Ketika bicara efektif, maka kita bicara tujuan. Ketika kita bicara tujuan pernikahan, maka pertanyaannya adalah, sudahkah kita bicara pada pasangan tentang tujuan pernikahan?
Jika sudah bicara, sudahkah kita saling menerima tujuan pernikahan tersebut?
Apakah kita memiliki gambaran yang sama tentang tujuan pernikahan?
Coba dicek dengan pertanyaan inderawi, relatif sama atau tidak jawabannya.
"Apa yang kamu lihat ketika kita sampai di tujuan pernikahan"
"Apa yang kamu dengar ketika kita sampai di tujuan pernikahan?"
"Apakah jawaban yang diperoleh dari pasangan sama dengan apa yang ada di benak kita?"
"Bagaimana jika ternyata jauh berbeda?"
Kenali ciri khas keluarga
Kita bisa kompromikan hal tersebut dengan mencari titik temu antara perbedaan yang ada. Jika tidak bisa dicari titik temunya, sepakati bagaimana cara saling mendukung yang akan dilakukan. Jadi tidak perlu terburu-buru menyimpulkan bahwa perbedaan tersebut adalah hal yang membahayakan bagi pernikahan.
Perbedaan dalam tataran teknis sebenarnya tidak menjadi masalah jika tidak mengganggu satu sama lain. Toh, setiap tujuan itu pada dasarnya mulia, berpijak dari nilai-nilai kehidupan yang melekat dalam diri.
Sebuah nilai sifatnya positif, jadi tujuannya sama baik, hanya detailnya yang berbeda. Selama bisa saling mendukung dan tidak saling mengkritik, tidak akan menjadi permasalahan.
Kenali diri dengan baik, lalu kenali pasangan dengan baik, dan akhirnya mengenali anak-anak dengan baik.
Menerima kekhasan keluarga dengan sebaik-baiknya bukanlah hal mudah, tetapi akan menjadi salah satu bekal terbaik agar bisa survive dalam keluarga.
Semangat menemukan kekhasan keluarga, desain strategi terbaik sesuai kekuatan, dan keterbatasan yang ada. Teruslah melangkah dan bertumbuh dengan berpijak pada rasa syukur. Melangkahlah sebagai sikap menghargai diri, pasangan, dan anak-anak kita.