Madinaworld.id – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, per Juli 2022 laju inflasi Indonesia berada pada level 4,94 persen. Sementara pada bulan Agustus diprediksi akan meningkat pada kisaran 5-6%.
Hal tersebut disampaikan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Bambang Soesatyo dalam Sidang Tahunan MPR RI yang diselengarakan pada Selasa (16/8) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
“Kita tidak boleh lalai. Kenaikan inflasi dapat menjadi ancaman bagi perekonomian nasional. Bahkan pada September mendatang kita diprediksi akan menghadapi ancaman hiperinflasi. Kita akan diprediksi masuk pada kisaran inflasi 10-12%,” ungkap Bambang.
Bambang juga mengungkapkan, pasca terjadinya pandemi covid-19 dunia dihadapkan pada kondisi global yang semakin tidak menentu. Semua negara di dunia tengah berupaya keras bangkit untuk memulihkan kondisi perekonomian.
“Namun fase ini terganggu oleh dinamika global seperti konflik Ukraina-Rusia, perang dagang dan teknologi Amerika Serikat dan Tiongkok, ketegangan baru di Selat Taiwan, serta disrupsi rantai pasok yang berimplikasi pada fluktuasi harga komoditas pangan dan energi,” ujar Bambang.
Walaupun demikian, dari hasil survei yang dilakukan oleh Bloomberg, Indonesia dinilai menjadi negara dengan resiko resesi yang kecil, hanya sekitar tiga persen.
“Sangat jauh jika dibandingkan dengan rata-rata Amerika dan Eropa yang mencapai 40-55% ataupun negara di Asia Pasifik pada rentang 20-25%,” terang Bambang.
Dalam kesempatan tersebut, Bambang juga menjelaskan bahwa tingginya kenaikan inflasi menyebabkan terjadinya perlambatan serta kontraksi pertumbuhan ekonomi global.
“Saat ini sekitar 320 juta penduduk dunia berada dalam kondisi kelaparan akut. Menurut data IMF dan Bank Dunia, perekonomian 66 negara diprediksi akan bangkrut dan ambruk,” kata Bambang.
Sebagai salah satu penyebab memburuknya perekonomian global, perang Ukraina juga telah memicu krisis pengungsi dan krisis kemanusiaan yang tumbuh paling cepat.
“Perang telah menyebabkan sekitar 7,1 juta warga Ukraina terpaksa kehilangan tempat tinggal mereka di negaranya sendiri. Jumlah tersebut merupakan jumlah populasi terbesar di dunia yang harus kehilangan tempat tinggal akibat konflik yang melanda,” ungkap Bambang.
“Dalam kurun waktu lebih dari dua bulan sejak pasukan Rusia mulai perang di Ukraina, sebanyak lima juta warga Ukraina telah meninggalkan negara mereka,” tambah Bambang.
Kini, warga ukraina merupakan kelompok pengungsi kedua terbesar di dunia, setelah pengungsi Suriah yang jumlahnya mencapai 6,8 juta.